Inovasi Diri
| ||
Oleh: Ubaydillah, AN | ||
Jakarta, 25 April 2003
| ||
Dalam bukunya “Only The Paranoid Survive” (Currency New York:
1996), Andy Grove menceritakan banyak hal tentang lingkungan bisnis, keputusan
dan eksekusi yang dijalankan sehubungan dengan posisinya sebagai CEO dari Intel
Co. Langkah Grove mengubah core business dari chip memory ke
microprocessor dinilai banyak pihak sebagai kesuksesan bertindak.
Sebelumnya, Intel dihadapkan pada banyak dilemma menghadapi serangan produk
Jepang yang telah lebih dulu menguasai pasar chip memory di samping juga
dilihat dari resource usaha, manufaktur Jepang itu lebih kuat.
| ||
Saat itu Grove menghadapi tiga pilihan yang sama-sama tidak mudah.
Pilihan pertama berupa ‘low cost strategy’. Kalau ingin mengalahkan
perusahaan Jepang, Intel harus banting harga. Pilihan kedua, kalau tidak sanggup
banting harga, Intel harus bermain dalam ceruk pasar yang kecil, 'Niche
Market strategy’. Inipun tidak gampang karena konsekuensinya berupa
tuntutan pada stabilitas dan margin profit. Ketiga, innovasi produk.
Kalau ingin menang, tuntutannya berupa memperbaiki produk supaya lebih
terjangkau oleh pasar dengan kualitas lebih dan, yang paling penting, tidak
gampang ditiru oleh manufaktur Jepang.
Intel akhirnya memilih pilihan ketiga. Pilihan tersebut ternyata tepat
sehingga kemudian mengantarkan Grove dinobatkan "Man of the year" versi
Time magazine, 1997. Inovasi Intel menurut pendapat Grove diawali dari
keberanian eksperimentasi dan fleksibilitas dalam menjalankan perubahan produk.
Saat itu dinilai tidak cukup bagi Intel hanya mengandalkan strategi ‘clear
vision’ dan ‘stable’ tetapi perlu mengubah konsep berpikir. Seperti
diakui Grove: “If company is experiencing rigidity in thinking and resistance
to change , that company will not survive in high speed global market
place”.
Belajar dari langkah Grove yang memulai kesuksesannya dengan menggunakan
kata kunci inovasi, rasanya tidak salah kalau kata kunci itu kita gunakan untuk
mengawali kesuksesan dalam konteks pengembangan diri. Kenyataannya, sekedar inovasi semata sudah tak terhitung
yang memahami dan mempraktekkannya baik di tingkat organisasi atau pribadi,
tetapi kebanyakan mandul atau gagal. Lalu agar tidak gagal, format pemahaman
inovasi seperti apakah yang mestinya digunakan?
| ||
Menyeluruh
| ||
Kasarnya, bicara ide cemerlang tentu dapat ditemukan di kepala banyak
orang atau organisasi, tetapi inovasi tidak berhenti pada ide cemerlang. Tidak
pula berupa tindakan yang semata-mata berbeda dengan orang lain sebab inovasi
bukan sebuah konsep tunggal dalam arti berubah hanya untuk sekedar berubah
(change for the sake of change). Inovasi yang sesungguhnya adalah inovasi
yang dipahami sebagai pelaksanaan konsep secara menyeluruh mencakup komponen dan
segmennya. Mengacu pada pendapat Beth Webster dalam “Innovation: we know we
need it but how do we do it” (Harbridge Consulting Group: 1990), inovasi
adalah menemukan atau mengubah materi pekerjaan atau cara menyelesaikan
pekerjaan secara lebih baik. Dengan definisi ini inovasi mengandung dua
komponen: yaitu penemuan (invention), dan pelaksanaan
(implementation), dimana pada tiap komponen terdiri atas empat
segmen:
| ||
| ||
Menjalankan inovasi diawali dari eksplorasi untuk menemukan sesuatu yang
baru dalam bentuk yang lebih tanpa meninggalkan perangkat lama yang masih baik.
Tidak berhenti pada menemukan ide lebih baik, inovasi menuntut langkah
berikutnya berupa pelaksanaan uji-realitas. Dalam kasus Intel, Grove
menamakannya dengan istilah keberanian eksperimen. Pantas diberi embel-embel
keberanian karena eksperimentasi punya resiko paling tinggi terhadap kegagalan sehingga dalam prakteknya banyak
orang mengatakan TIDAK terhadap inovasi karena rasa takut menerima resiko
itu.
Selain resiko kegagalan, hambatan di tingkat konsep, praktek, strategi,
tekhnis, diri sendiri dan orang lain juga kerap muncul. Untuk menciptakan
solusi yang dibutuhkan, maka kreativitas para innovator berperan. Kreativitas
solusi ini diwujudkan dalam bentuk jumlah alternatif solusi terhadap situasi
dengan cara mengubah, mengkombinasikan, mengindentifikasi celah destruktif dari
sesuatu yang sudah mapan (established). Menurut riset ilmiah, kuantitas
solusi alternatif punya korelasi dengan kualitas solusi. Jadi kreativitas
bertumpu pada kemampuan memiliki pola baru dalam melihat hubungan antar obyek
yang dilahirkan dari sudut pandang adanya ‘possibility’, dan
mempertanyakan sesuatu untuk memperoleh jawaban lebih baik. Seorang pakar
kreativitas, Arthur Koestler, mengatakan: “Every creative act involve a new
innocent of perception, liberated from cataract of accepted
belief”.
Dalam menjalankan kreativitas menciptakan solusi, innovator perlu
memiliki kemampuan menyalakan lampu petunjuk yaitu visi – having clear sense
of direction. Artinya, bentuk inovasi seperti apakah yang dilihat secara
jelas oleh imajinasi innovator? Semakin jelas padanan fisik dari tujuan inovasi
bisa disaksikan oleh penglihatan mental, maka akan semakin menjadi obyek yang
satu atau utuh. Kembali pada pengetahuan tentang pikiran yang baru akan bekerja
kalau difokuskan pada obyek utuh, kalau obyeknya masih terpecah tidak karuan,
dengan sendirinya pikiran memilih untuk diam atau kacau. Bagaimana mengutuhkan
obyek sasaran dalam kaitan dengan kemampuan visualisasi ini?
Merujuk pada pendapat Shakti Gawain dalam “Creative
Visualization” (Creating Strategies Inc.: 2002), para innovator perlu
melewati empat tahapan proses untuk menajamkan visinya, yaitu:
| ||
| ||
Di atas dari semua komponen dan segmen di atas, roh dari inovasi adalah
komitmen yang membedakan antara ‘make or let things happen'. Inovasi
menuntut komitmen pada ‘make’, bukan membiarkan ide cemerlang menemukan
jalannya sendiri di lapangan. Komitmen adalah menolak berbagai macam
‘excuses’ yang tidak diperlukan oleh inovasi. The show must go on.
Mengutip pendapat Ralp Marlstone tentang komitmen dikatakan: “Anda tidak bisa
menciptakan ‘living’ hanya dengan ide, kreativitas, visi, melainkan
‘you must live' WITH them". Senada dengan Ralp, Joel Barker
mengatakan “Vision WITH action can
change the world”.
Menjalankan ide innovative sebagai pemahaman komprehensif menuntut
aplikasi prinsip manajemen yang berarti menggunakan sumber daya di luar kita
sebagai kekuatan berdasarkan
keseimbangan riil antara size of planning dan ability of working.
Tanpa aplikasi manajemen, sumber daya yang berlimpah di luar sana bisa tidak
berguna atau malah menjadi penghambat atau sia-sia. Salah satu keahlian
manajemen adalah komunikasi. Tak terbayangkan kalau kerjasama apapun tidak
diimbangi dengan kemampuan komunikasi yang dibutuhkan. Contoh lain yang
menggambarkan pentingnya keseimbangan dalam menjalankan inovasi adalah
fenomena kekecewaan atau kegagalan proposal kerja sama. Dari sudut gagasan,
kreativitas, visi, semuanya cemerlang. Tetapi begitu disepakati untuk
dijalankan, ternyata masih banyak celah lobang yang belum atau masih di luar
kapasitas masing-masing pihak menciptakan solusi. Atau dengan kata lain lebih
gede planning for success ketimbang ability of working for
success.
| ||
Alasan
| ||
Menemukan alasan mengapa kita merasa perlu untuk menjalankan ide
innovative untuk memperbaiki kehidupan pribadi atau organisasi merupakan
bagian penting dari inovasi itu sebelum dijalankan. Sebagian dari alasan itu
antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut:
| ||
1.
|
Perubahan
| |
Dunia ini tidak akan berbeda dengan perubahan yang secara take for
granted akan terjadi. Setiap perubahan eksternal menuntut ketepatan memilih
respon yang tepat di tingkat internal. Inilah pilihan dari pemahaman hidup yang
harus dipegang. Sayangnya sering ditemukan bahwa orang lebih tertarik untuk
membicarakan kemajuan yang diciptakan perubahan dunia luar tanpa dibarengi
dengan keingian kuat untuk mengubah diri. Sikap resistance to change yang
membabi buta ini pada giliran tertentu akan mengantarkan pada posisi sebagai
korban perubahan zaman atau tidak mendapat benefit dari
kemajuan.
Contoh sepele adalah penguasaan bahasa asing, katakanlah bahasa Inggris.
Dahulu menjadi rukun profesi dalam arti bagian atau rungan tersendiri dari
sebuah profesi. Tetapi sekarang tidak bisa dipungkiri telah menjadi syarat
masuk pintu gerbang yang berarti harus dimiliki oleh semua calon profesi.
Mengantisipasi tuntutan perubahan dunia luar,langkah penyelamat yang menjamin
adalah mendirikan lembaga learning di dalam diri kita. Materinya bisa
diadopsi dari mana saja tergantung kebutuhan dan kemampuan berdasarkan tuntutan
lingkungan di mana kita berada.
| ||
2.
|
Keterbatasan
| |
Melakukan inovasi diri harus diberangkatkan dari pemahaman bahwa manusia
memiliki kemampuan tak terbatas kecuali batasan yang diciptakan sendiri (self
– fulfilling prophecy). Kaitannya dengan inovasi adalah, kemampuan kita
merupakan garis pembatas pigura hidup, dan inovasi dibutuhkan dalam rangka
memperluas garis pembatas pigora itu. Selain dibutuhkan pemahaman dari dalam
juga tidak kalah penting peranan "pil" pemahaman yang disuntikkan oleh pihak
luar, meskipun dalam bentuk tawaran memilih. Praktekknya tidak sedikit orang
yang meyakini wilayah ‘pigura hidup’-nya bertambah setelah minum pil pemahaman
dari sosok yang diyakini lebih terpercaya, misalnya saja paranormal, dukun,
penasehat, konsultan, sahabat karib, dll.
Pil pemahaman dari luar inilah yang oleh Dale Carnegie disebut Kelompok
Ahli Pikir. Selama pil yang diberikan berupa pil miracle, tentu saja akan
sangat dibutuhkan sebab secara alami orang sangat sensitif terhadap pemahaman
orang lain tentang dirinya. Justru yang patut disayangkan adalah kalau pil itu
berupa stigma killer lalu diterima mentah-mentah, misalnya saja: pasti
gagal, rasanya sulit, kayaknya tidak mungkin dll. Oleh karena itu Mark Twain
berpesan: “Jauhkan diri anda dari kelompok orang atau komunitas yang membuat
ambisi anda menurun yang biasanya dilakukan oleh pribadi yang kerdil”.
| ||
3.
|
Kesenjangan
| |
Alasan lain mengapa inovasi dibutuhkan adalah kenyataan alamiah berupa
terjadinya kesenjangan antara alam idealitas dan realitas. Wujud pengakuan fakta
alamiah itu harus dibuktikan dengan perbaikan di tingkat realitas dan perubahan
format alam idealitas. Seperti kata pepatah, “Gantungkan cita-citamu di langit
tetapi jangan lupa kakimu menginjakkan bumi”. Maksudnya, terus ciptakan standard
yang lebih tinggi dari yang optimal bisa diraih. Bisa dibayangkan, seandainya
semua manusia cukup ‘berpuas-diri’, dengan apa yang ada dalam pengertian ‘low
quality’, maka pasti kemajuan sulit diciptakan. Selain itu akan memudahkan
orang terkena virus putus asa, berpikir only one answer, bersikap
perfectionist yang berarti bertentangan dengan prinsip dasar
inovasi.
Sulit dielakkan, kenyataannya terdapat kecenderungan budaya konformitas
berupa ketakutan psikologis untuk bercita-cita tinggi yang dijustifikasi oleh
pola berpikir realistik yang keliru dalam arti tidak mencerminkan semangat
pengembangan diri ke arah lebih baik. Mestinya, berpikir realistik diartikan
menginjak di atas realitas, tidak sebaliknya hidup di dalam realitas. Didasarkan
pada pemahaman yang berbeda ini maka terjadi kenyataan yang berbeda. Kendaraan
yang berjalan di atas jalan raya dapat diarahkan kemana pun tetapi ketika
terperosok di dalam lumpur, pilihannya hanya dientaskan ke atas.
| ||
Perlu dicatat bahwa semua alasan yang sudah disebutkan di atas
didasarkan pada: 1) perspektif bahwa hidup adalah proses; dan 2) menjalankan
Learning Principle yang merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan
dari asset potential menjadi asset aktual. Oleh karena itu alasan personal lain, apapun yang kita
miliki, tuntutan paling penting tetap pada menemukan alasan yang punya korelasi
kuat terhadap tindakan yang memiliki akses pada perubahan situasi. Begitu
situasi sudah dapat diubah menjadi lebih baik berarti kita sudah melangkahkan
kaki pada tujuan akhir dari inovasi yang berarti awal untuk memulai perubahan
lain ke arah yang bertambah baik. That is the process. Semoga
berguna.(jp)
| ||
_____________________________
|
PSIKOLOGI
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar